Pemimpin yang Bermegah Tanda Kehancuran Suatu Kaum
Al-Qur’an
merupakan peringatan bagi kaum muslimin. Di antara cara al-Qur’an
memperingatkan manusia adalah dengan menunjukkkan gejala-gejala kehancuran
segala sesuatu, agar mereka mengambil pelajaran dan segera memperbaiki diri,
sebelum semuanya terlambat dan benar-benar tidak bisa ditolong. Allah SWT
berfirman : “Sesungguhnya ini (al-Qur’an)
adalah suatu peringatan. Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya ia menempuh
jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya.” (al-Muzzammil [73] : 19)
Bila
pernyataan ini kita tarik ke dalam konteks sosial, baik dalam skala kecil
maupun besar, maka kehancuran maupun kebangkitan sebuah komunitas sudah dapat
diramalkan atau diprediksi jauh-jauh hari dengan mengamati tanda-tandanya. Apa
yang disebut komunitas ini bisa berupa lembaga, organisasi, masyarakat, bangsa,
negara, atau umat secara keseluruhan. Salah satu peringatan itu Allah tuangkan
dalam surat al-Israa’ [17]: 15-16, yang berbicara tentang awal mula kebinasaan
sebuah negeri. Mari mengkajinya, lalu memutuskan apa yang bisa kita lakukan
untuk mencegah kerusakan yang sudah diancamkan.
Mewah dan Fasik
Di sana
Allah SWT berfirman : “Barangsiapa yang
berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Seseorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul (pemberi peringatan). Dan jika Kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka “amarnaa” orang-orang
yang hidup mewah di antara mereka, tetapi mereka melakukan kefasikan didalam
negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan
Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (al-Israa’[17]:
15-16)
Menurut
al-Hafizh Ibnul Jauzi, para mufassir klasik
menyitir tiga penafsiran atas kata amarnaa
yang terdapat dalam ayat ke-16 tersebut (dalam teks di atas, kata ini sengaja
tidak diterjemahkan). Meskipun sekilas terlihat berbeda, sebetulnya
masing-masing mengarah kepada gejala-gejala tertentu yang saling terkait dan
pada klimaksnya membawa akibat yang sama.
Pertama, menurut Sa’id bin Jubair, kata amarnaa berasal dari al-amr, artinya perintah. Jadi, dalam
frase ini terdapat bagian yang tidak disebutkan, tetapi sudah bisa dipahami
dari konteks utuhnya. Seolah-olah Allah SWT menyatakan: “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
orang-orang yang hidup mewah di antara mereka (agar taat kepada Allah), tetapi
mereka melakukan kefasikan … dan seterusnya.”
Kedua, menurut Abu ‘Ubaidah dan Ibnu
Qutaibah, kata amarnaa tersebut
bermakna “Kami perbanyak”. Dalam bahasa Arab, salah satu makna amara adalah ‘menjadi banyak’.
Berdasarkan penafsiran ini, maka kalimat tersebut berbunyi: “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri,
maka Kami perbanyak orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, lalu mereka
berbuat kefasikan … dan seterusnya.”
Ketiga, menurut Ibnul Anbariy, kata amarnaa berarti “Kami jadikan sebagai
pemimpin atau penguasa”. Dari sudut pandang ini, ayat tersebut bisa dimaknai
begini: “Jika Kami hendak membinasakan
suatu negeri, maka Kami jadikan orang-orang yang hidup mewah di antara mereka
sebagai penguasa, lalu mereka berbuat kafasikan … dan seterusnya.”
Sesungguhnya,
ketiga penafsiran ini sejalan dan merujuk kepada fenomena serupa. Ketika Allah
SWT melihat sebuah komunitas dipenuhi orang-orang yang hidup mewah, dan kepada
mereka telah didatangkan nasehat serta peringatan, namun mereka menolak untuk
beriman dan memperbaiki diri bahkan semakin liar dalam berbuat kefasikan, maka
Allah SWT punya cukup alasan untuk membinasakan mereka.
Dari
sisi lain,penafsiran ketiga menunjukkan tanda-tanda kehancuran sebuah negeri
secara lebih gamblang. Menurut al-Qur’an, tampilnya orang-orang kaya yang gemar
hidup mewah dibarisan pemimpin dan penguasa bukanlah alamat yang baik. Apalagi
jika mereka berkuasa semata-mata karena uangnya, bukan dilatari kecakapan dan
sifat amanah.
Besar
kemungkinan, mereka akan berbuat fasik dan merusak. Kekuasaan yang ada di
tangan mereka bakal menjadi sarana super efektif untuk memperluas akibat-akibat
kefasikannya. Misalnya, melalui kebijakan dan peraturan yang jelas-jelas
melawan syariat Allah SWT dan merugikan masyarakat luas, namun selaras dengan
hawa nafsu dan kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri.
Secara
tersirat, ayat ini juga memperingatkan dua hal lain, yaitu: bahaya kemewahan
terhadap kepekaan hati dalam menerima hidayah, serta dahsyatnya kerusakan yang
diakibatkan oleh orang-orang kaya, gemar hidup mewah, dan fasik. Di sini, bukan
berarti kefasikan orang miskin tidak berbahaya, namun skala dan akibatnya jelas
berbeda.
Pertanyaannya
sekarang, apakah tanda-tanda kehancuran itu telah terlihat dalam masyarakat dan
negeri kita?
Anda
lebih tahu jawabannya. Hanya saja, sayup-sayup terdengar bisikan bahwa Anda
tidak perlu memiliki kecakapan dan sifat-sifat terpuji untuk tampil sebagai
pemimpin, asal memiliki cukup uang untuk membayar biaya-biaya politik yang
sangat mahal itu. Dan, maraknya kasus-kasus korupsi ditengarai banyak kalangan
sebagai akibat langsung dari politik berbiaya tinggi ini.
Sekarang,
seiring terus mendekatnya berbagai even Pilkada,Pilpres, dan Pemilu, penting
kiranya kita menyelisik calon-calon pemimpin itu. Sebelum terlambat, jauhi mereka yang gemar hidup mewah dan fasik. Jika
tidak, maka ancaman Allah SWT tidak pernah meleset.
Ingatlah,
Indonesia bukan negara pertama dan satu-satunya di atas kepulauan ini. Tanah
yang kini kita pijak telah menjadi saksi keruntuhan Sriwijaya, Mataram,
Pajajaran, Majapahit, dan sebagainya; yakni ketika para pemimpinnya gagal
menjalankan fungsinya sebagai tempat bernaung yang aman bagi rakyat, justru
saling berebut dan mementingkan diri sendiri. Dalam skala internasional, kita
bisa mengambil pelajaran dari ambruknya kekaisaran Persia dan Romawi, bahkan
Uni Soviet dan Yugoslavia. Apakah kita merasa bahwa Indonesia tidak mungkin
bernasib sama? Waspadalah! Wallahu a’lam.